Bagaimana membangun perekonomian yang pertumbuhannya terasa sampai ke sumsum tulang mayoritas rakyat Indonesia? Tidak ada cara lain kecuali membangun sektor pertanian yang berkualitas dan terintegrasi dengan sektor industri dan perdagangan sehingga mampu menumbuhkan pusat ekonomi baru.
Keandalan sektor pertanian tidak diragukan lagi. Selama satu dasawarsa (1998-2008), sektor pertanian kembali menunjukkan daya tahan di tengah krisis ekonomi.
Seperti yang dinyatakan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan, perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat krisis global mulai tampak pada triwulan III-2008.
Sektor pertanian yang mencakup pertanian, kehutanan, peternakan, dan perikanan turut berkontribusi 4,3 persen terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. Masih lebih tinggi 0,1 persen dari industri pengolahan. Walau belum setinggi sektor usaha lain, seperti konstruksi (7,9 persen) atau pengangkutan dan komunikasi (19,0 persen), sektor pertanian menampung beban yang sangat besar.
Sebanyak 42,5 juta orang dari 108,1 juta angkatan kerja nasional bekerja di sektor ini. Maka, sudah semestinya negara agraris dan maritim ini menjadikan sektor pertanian terintegrasi sebagai lokomotif penggerak ekonomi nasional.
Peta jalan pertanian
Saat ini masih mantapnya pertumbuhan sektor pertanian tidak lain karena sumbangan subsektor pangan untuk konsumsi dalam negeri serta ekspor bahan mentah hasil perkebunan, perikanan, dan kehutanan.
Sebanyak 24,8 juta keluarga petani hidup dari subsektor pangan dan sejahtera saat harga beras, jagung, dan kedelai membaik hingga September 2008. Petani benar-benar memanfaatkan momentum ini karena pada saat yang bersamaan volume produksi pun naik.
Namun, kita patut menyayangkan. Meski kontribusi sektor pertanian sudah terbukti dalam perekonomian nasional, kebijakan pemerintah masih belum komprehensif. Sampai sekarang, pengembangan pertanian nasional masih belum terintegrasi dengan kebijakan perindustrian dan perdagangan.
Peta jalan (roadmap) yang bisa diandalkan untuk mengembangkan agroindustri jangka panjang sampai kini tak kunjung muncul. Malah kebijakan yang bersifat ad hoc lebih sering muncul untuk meredakan kasus per kasus. Kondisi ini ironis karena saat kita lupa menciptakan nilai tambah dalam produk pertanian, pasar domestik negara kepulauan terbesar di dunia ini terus diserbu produk impor.
Impor pangan Indonesia periode 1996-2005 berdasarkan catatan ahli peneliti utama dalam bidang kebijakan pertanian PSE-KP Departemen Pertanian, Husein Sawit, menyedot sedikitnya 1,6 miliar dollar AS atau setara Rp 14,7 triliun devisa. Sekarang jumlahnya tentu jauh lebih besar dari periode itu mengingat harga komoditas pangan dunia melonjak dua sampai tiga kali lipat.
Kenaikan impor bahan baku setengah jadi—yang sebenarnya bisa diperoleh di dalam negeri—tak terbendung. Dari Indikator Perdagangan Dunia 2008 yang diterbitkan Bank Dunia, rata-rata tarif bea masuk Indonesia pada 2006 sebesar 4,5 persen, lebih rendah daripada rata-rata tarif di Asia Timur dan Pasifik yang berada pada kisaran 4,9 persen, yang berpendapatan tinggi. Negara-negara berkembang berpendapatan menengah dan rendah saja menerapkan tarif rata-rata 8,7 persen. Ironisnya lagi, tarif impor produk pertanian Indonesia tahun 2006-2007 6,5-7 persen. Paling rendah di Asia Pasifik. Ironis lagi, negara agraris seperti Indonesia memberikan tarif impor lebih murah untuk bahan baku produk pertanian ketimbang India, China, dan Brasil yang mampu mengekspor bahan jadi ke Eropa, Amerika Serikat, dan berbagai penjuru dunia.
Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, tarif bea masuk yang rendah ditujukan untuk efisiensi industri dalam negeri, tanpa mengabaikan perlindungan terhadap pertanian sebagai sektor strategis.
Industrialisasi pertanian
Akan tetapi, bea masuk rendah untuk impor produk pertanian yang menjadi bahan baku proses produksi sungguh berisiko besar. Industri pengolahan hasil pertanian di Indonesia semakin hari semakin terfragmentasi, tak terintegrasi dengan sektor pertanian sebagai hulunya. Kita harus menanggung kenyataan pahit ini saat produk mentah tak laku di pasar ekspor dan sulit bersaing di pasar domestik karena harga bahan baku impor lebih murah.
Industri pengolahan kakao, misalnya, memasok bahan baku impor, sementara Indonesia banyak mengekspor biji kakao. Karena buruknya penanganan pascapanen atau tidak adanya industri pengolah antara, industri hilir menjadi tidak efisien jika memanfaatkan bahan baku hasil pertanian dalam negeri.
Selain tidak terintegrasi optimal dengan industri pengolahan, hasil-hasil pertanian Indonesia juga tak jarang kalah bersaing dengan produk impor di pasar konsumsi domestik.
Survei Asia Foundation seperti dikutip Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menunjukkan, biaya distribusi di Indonesia lewat jalan darat paling mahal dibandingkan dengan Malaysia, Vietnam, Thailand, dan China. Kualitas jalan yang buruk, pungutan liar oleh aparat jembatan timbang, kepolisian, tentara, dinas perhubungan, sampai preman, dan tumpang tindih retribusi pemerintah daerah membuat produk kita sulit bersaing dengan produk impor sejenis. Siapa bisa menyangka kalau harga jeruk impor dari China jauh lebih murah dibandingkan jeruk Pontianak di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Kalau
sudah begini, siapa yang patut disalahkan. Petani jeruk Pontianak atau pemerintah?
Pemerintah lebih suka mengutamakan pembangunan industri manufaktur, yang dari sisi politik sangat menguntungkan. Industri manufaktur lebih cepat berdiri, menyerap tenaga kerja lebih banyak, dan bisa langsung mengekspor produk.
Adapun sektor pertanian, sudah tentu memakan waktu yang dimulai dari pembukaan lahan, penanaman bibit, perawatan, dan seterusnya. Belum lagi jika sebagian lahan terserang hama atau penyakit. Akhirnya, impor bahan baku lebih diprioritaskan untuk mendukung industri hilir. Kondisi ini yang terjadi pada industri gula nasional.
Industri gula rafinasi lebih suka mengimpor gula mentah dari Brasil ketimbang membeli dari petani dengan dalih kualitas jelek. Padahal, gula mentah petani yang jelek itu dihasilkan oleh mesin giling pabrik yang umurnya lebih tua dari republik ini. Mereka pun lalu mengimpor bahan baku untuk memproduksi di dalam negeri. Pemerintah baru kalang kabut saat hasil produksi, yang lebih murah dari produk lokal, kemudian membanjiri pasar domestik. Semakin terpuruklah petani tebu kita.
Semestinya, pemerintah kita tidak terbujuk rayuan negara lain untuk lebih mendorong ekspor bahan baku mentah. Sudah semestinya pemerintah lebih tegas dengan menciptakan pasar domestik bagi produk lokal sambil meminta importir bahan mentah mendirikan industri bahan jadi di Indonesia. Mereka yang mau melakukannya harus diberi berbagai insentif fiskal dan moneter supaya lebih bergairah mendirikan industri hilir pertanian yang terintegrasi dengan hulu.
Kelapa sawit, karet, kakao, kopi, tebu, sampai jagung semuanya andalan pertanian kita. Sudah cukup bangsa kita menjadi petani tanpa pernah mengecap keberhasilan industrialisasi pertanian. Seribu langkah pun dimulai dari satu langkah. Dalam waktu 10 tahun, Indonesia pasti menjadi negara industri pertanian termaju di dunia.
Kita bisa jika kita mau! [DAY/HAM/RYO/LKT]
Oleh: Hermas E Prabowo
www.kompas.com Selasa, 9 Desember 2008
Keandalan sektor pertanian tidak diragukan lagi. Selama satu dasawarsa (1998-2008), sektor pertanian kembali menunjukkan daya tahan di tengah krisis ekonomi.
Seperti yang dinyatakan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan, perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat krisis global mulai tampak pada triwulan III-2008.
Sektor pertanian yang mencakup pertanian, kehutanan, peternakan, dan perikanan turut berkontribusi 4,3 persen terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. Masih lebih tinggi 0,1 persen dari industri pengolahan. Walau belum setinggi sektor usaha lain, seperti konstruksi (7,9 persen) atau pengangkutan dan komunikasi (19,0 persen), sektor pertanian menampung beban yang sangat besar.
Sebanyak 42,5 juta orang dari 108,1 juta angkatan kerja nasional bekerja di sektor ini. Maka, sudah semestinya negara agraris dan maritim ini menjadikan sektor pertanian terintegrasi sebagai lokomotif penggerak ekonomi nasional.
Peta jalan pertanian
Saat ini masih mantapnya pertumbuhan sektor pertanian tidak lain karena sumbangan subsektor pangan untuk konsumsi dalam negeri serta ekspor bahan mentah hasil perkebunan, perikanan, dan kehutanan.
Sebanyak 24,8 juta keluarga petani hidup dari subsektor pangan dan sejahtera saat harga beras, jagung, dan kedelai membaik hingga September 2008. Petani benar-benar memanfaatkan momentum ini karena pada saat yang bersamaan volume produksi pun naik.
Namun, kita patut menyayangkan. Meski kontribusi sektor pertanian sudah terbukti dalam perekonomian nasional, kebijakan pemerintah masih belum komprehensif. Sampai sekarang, pengembangan pertanian nasional masih belum terintegrasi dengan kebijakan perindustrian dan perdagangan.
Peta jalan (roadmap) yang bisa diandalkan untuk mengembangkan agroindustri jangka panjang sampai kini tak kunjung muncul. Malah kebijakan yang bersifat ad hoc lebih sering muncul untuk meredakan kasus per kasus. Kondisi ini ironis karena saat kita lupa menciptakan nilai tambah dalam produk pertanian, pasar domestik negara kepulauan terbesar di dunia ini terus diserbu produk impor.
Impor pangan Indonesia periode 1996-2005 berdasarkan catatan ahli peneliti utama dalam bidang kebijakan pertanian PSE-KP Departemen Pertanian, Husein Sawit, menyedot sedikitnya 1,6 miliar dollar AS atau setara Rp 14,7 triliun devisa. Sekarang jumlahnya tentu jauh lebih besar dari periode itu mengingat harga komoditas pangan dunia melonjak dua sampai tiga kali lipat.
Kenaikan impor bahan baku setengah jadi—yang sebenarnya bisa diperoleh di dalam negeri—tak terbendung. Dari Indikator Perdagangan Dunia 2008 yang diterbitkan Bank Dunia, rata-rata tarif bea masuk Indonesia pada 2006 sebesar 4,5 persen, lebih rendah daripada rata-rata tarif di Asia Timur dan Pasifik yang berada pada kisaran 4,9 persen, yang berpendapatan tinggi. Negara-negara berkembang berpendapatan menengah dan rendah saja menerapkan tarif rata-rata 8,7 persen. Ironisnya lagi, tarif impor produk pertanian Indonesia tahun 2006-2007 6,5-7 persen. Paling rendah di Asia Pasifik. Ironis lagi, negara agraris seperti Indonesia memberikan tarif impor lebih murah untuk bahan baku produk pertanian ketimbang India, China, dan Brasil yang mampu mengekspor bahan jadi ke Eropa, Amerika Serikat, dan berbagai penjuru dunia.
Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, tarif bea masuk yang rendah ditujukan untuk efisiensi industri dalam negeri, tanpa mengabaikan perlindungan terhadap pertanian sebagai sektor strategis.
Industrialisasi pertanian
Akan tetapi, bea masuk rendah untuk impor produk pertanian yang menjadi bahan baku proses produksi sungguh berisiko besar. Industri pengolahan hasil pertanian di Indonesia semakin hari semakin terfragmentasi, tak terintegrasi dengan sektor pertanian sebagai hulunya. Kita harus menanggung kenyataan pahit ini saat produk mentah tak laku di pasar ekspor dan sulit bersaing di pasar domestik karena harga bahan baku impor lebih murah.
Industri pengolahan kakao, misalnya, memasok bahan baku impor, sementara Indonesia banyak mengekspor biji kakao. Karena buruknya penanganan pascapanen atau tidak adanya industri pengolah antara, industri hilir menjadi tidak efisien jika memanfaatkan bahan baku hasil pertanian dalam negeri.
Selain tidak terintegrasi optimal dengan industri pengolahan, hasil-hasil pertanian Indonesia juga tak jarang kalah bersaing dengan produk impor di pasar konsumsi domestik.
Survei Asia Foundation seperti dikutip Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menunjukkan, biaya distribusi di Indonesia lewat jalan darat paling mahal dibandingkan dengan Malaysia, Vietnam, Thailand, dan China. Kualitas jalan yang buruk, pungutan liar oleh aparat jembatan timbang, kepolisian, tentara, dinas perhubungan, sampai preman, dan tumpang tindih retribusi pemerintah daerah membuat produk kita sulit bersaing dengan produk impor sejenis. Siapa bisa menyangka kalau harga jeruk impor dari China jauh lebih murah dibandingkan jeruk Pontianak di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Kalau
sudah begini, siapa yang patut disalahkan. Petani jeruk Pontianak atau pemerintah?
Pemerintah lebih suka mengutamakan pembangunan industri manufaktur, yang dari sisi politik sangat menguntungkan. Industri manufaktur lebih cepat berdiri, menyerap tenaga kerja lebih banyak, dan bisa langsung mengekspor produk.
Adapun sektor pertanian, sudah tentu memakan waktu yang dimulai dari pembukaan lahan, penanaman bibit, perawatan, dan seterusnya. Belum lagi jika sebagian lahan terserang hama atau penyakit. Akhirnya, impor bahan baku lebih diprioritaskan untuk mendukung industri hilir. Kondisi ini yang terjadi pada industri gula nasional.
Industri gula rafinasi lebih suka mengimpor gula mentah dari Brasil ketimbang membeli dari petani dengan dalih kualitas jelek. Padahal, gula mentah petani yang jelek itu dihasilkan oleh mesin giling pabrik yang umurnya lebih tua dari republik ini. Mereka pun lalu mengimpor bahan baku untuk memproduksi di dalam negeri. Pemerintah baru kalang kabut saat hasil produksi, yang lebih murah dari produk lokal, kemudian membanjiri pasar domestik. Semakin terpuruklah petani tebu kita.
Semestinya, pemerintah kita tidak terbujuk rayuan negara lain untuk lebih mendorong ekspor bahan baku mentah. Sudah semestinya pemerintah lebih tegas dengan menciptakan pasar domestik bagi produk lokal sambil meminta importir bahan mentah mendirikan industri bahan jadi di Indonesia. Mereka yang mau melakukannya harus diberi berbagai insentif fiskal dan moneter supaya lebih bergairah mendirikan industri hilir pertanian yang terintegrasi dengan hulu.
Kelapa sawit, karet, kakao, kopi, tebu, sampai jagung semuanya andalan pertanian kita. Sudah cukup bangsa kita menjadi petani tanpa pernah mengecap keberhasilan industrialisasi pertanian. Seribu langkah pun dimulai dari satu langkah. Dalam waktu 10 tahun, Indonesia pasti menjadi negara industri pertanian termaju di dunia.
Kita bisa jika kita mau! [DAY/HAM/RYO/LKT]
Oleh: Hermas E Prabowo
www.kompas.com Selasa, 9 Desember 2008
0 komentar
Posting Komentar