Di saat sejumlah daearah tertentu beralih ke beras, warga Kampung Cirendeu, Leuwigajah, Kota Cimahi, tetap bertahan pada singkong sebagai makanan pokok. Karena berpegang pada wejangan leluhur.
“Wilujeung Sumping di Kampung Cirendeu.“ Plank bertulis latin dalam bahasa Jawa Sunda kuno itu terpampang di mulut jalan masuk kampung Cirendeu, Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat. Sepintas tak ada yang istimewa di balik pemasangan papan petunjuk tersebut, selain hanya ingin memberi tahu para pendatang baru bahwa ia telah berada di wilayah Kampung Cirendeu – dan orang sana biasa menyebutnya RW 09.
Tapi, bagi masyarakat Kampung Cirendeu pemasangan papan selamat datang itu secara tersirat punya maksud ingin memberitahukan pada khalayak bahwa kampung ini memiliki warisan dari karuhun (leluhur), yakni sebagai manusia dan bangsa mempunyai cirri-ciri: rupa, bahasa, aksara, dan adat istiadat atau kebiasaan tersendiri. Bagi penduduk Cirendeu, sekecil apapun warisan karuhun itu harus dilestarikan.
Salah satu warisan itu adalah tetap mempertahankan singkong (Manihot esculenta), bukan beras, sebagai makanan pokok. Memang ada sebagain kecil warga yang mengonsumsi beras, tapi lebih banyak warga yang tetap bertahan makan nasi dari bahan singkong, yang oleh penduduk di sana disebut dengan istilah Rasi atau beras nasi.
Kalau ditilik dari letak gegrafis Kampung Cirendeu tak salah kalau mereka memilih singkong sebagai makanan pokok. Kampung ini dikelilingi oleh pegunungan, yang lahan atau tanah yang tersedia hanya cocok untuk tanaman pangan non-beras atau tanaman sejenis umbi-umbian. Dan, nenek moyang mereka ternyata memilih singkong, dan adat kebiasaan itu pun tetap dilestarikan hingga sekarang.
Kampung Cirendeu menjadi pusat perhatian tatkala harga bahan pokok beras melambung tinggi, dan Departemen Pertanian dan Badan Ketahahan Pangan mulai menggalakkan diversifikasi pangan. Kampung ini menjadi salah contoh bahwa orang bisa bertahan hidup dan sehat tanpa harus mengonsumsi beras. Hanya saja, sayangnya, para petani singkong di kampung Cirendeu belum mendapat perhatian dari pementintah.
Para petani singkong, mulai bercocok tanam hingga memasarkan hasil produknya, masih secara tradisional. Seperti kata Kang Yana, seorang pemuka Masyarakat Adat Kampung Cirendeu, kebanyakan para petani di kampung ini tidak memasarkan singkongnya secara langsung ke pasar. Tapi, mereka lebih dulu mengolah singkong itu menjadi Aci (sagu), dan hasil olahan inilah yang dijual ke pasar.
Singkong bukan tanaman musiman. Karenanya, setiap saat singkong dapat dipanen. Namun demikian, menurut Kang Yana kepada wartawan Tani Merdeka, tetap ada saat-saat panen raya yang melibatkan seluruh masyarakat untuk mulai memetik hasilnya. Dari kampung seluas 100 hektar itu setiap bulan menghasilkan 2 ton singkong. Hasil ini masih bisa ditingkatkan lagi, kalau saja ada intervensi dari tangan-tangan pemerintah.
Umumnya ke-50 kepala keluarga atau sekitar 800 jiwa penduduk Kampung Cirendeu memiliki lahan singkong dengan luas yang bervariasi. Seperti Kanda dan Bana, dua penduduk di sana, masing-masing memiliki lahan seluas 1 hingga 3 hentar. Namun, ada pula yang memiliki lahan kurang dari satu hektar, dan mereka yang tak memiliki lahan bekerja sebagai buruh pabrik dan pedagang.
Agar hasil produk singkong bisa dipanen setiap bulan, mereka mengatur pola tanam singkong sedemikian rupa. Caranya, awal tanam pada masing-masing petak lahan singkong dibuat berbeda, sehingga diperoleh usia singkong yang berbeda pula. Ada tanaman yang berusia muda, 3 hingga 6 bulan, dan ada pula yang usia tua (siap panen), satu tahun. Jadi, karena dibuat beda usia, maka panennya bisa setiap saat.
Setelah dipanen, singkong ini langsung diolah menjadi Aci (sagu) dan hasil olahan ini kemudian dijual ke pasar dengan harga Rp3.000 per kilogram. Ampas singkong -- setelah sagunya diambil – tidak dibuang, tapi itulah yang kemudian dijadikan beras nasi (rasi), yang dikenal pula dengan nema Sanguen. Jadi, “Petani singkong di kampung ini tidak menjual singkong mentah, tetapi menjual Aci,” jelas Kang Yana.
Tetap Bertahan Makan Rasi
Nasi dan rasi memang berbeda tapi fungsinya sama, sebagai makanan pokok. Nasi terbuat dari bahan beras, sedangkan rasi dari bahan singkong. Kalau nasi dikonsumsi oleh sebagian masyarakat Indonesia, sedangkan rasi hanya dikonsumsi oleh segelintir orang di Kampung Cirendeu, Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Ketika pada masa Orde Baru beras menjadi primadona sebagai bahan makanan pokok, banyak warga masyarakat tertentu – seperti di Papua dengan kebiasaan makan umbi-umbian, Gunung Kidul makan tiwul dan lainnya – beralih ke beras. Maka, waktu itu, dikenal istilah orang atau warga tetap dikatakan miskin kalau belum makan beras.
Tapi, warga masyarakat Kampung Cirendeu tak terpengaruh dengan sebutan itu, mereka tetap mempertahankan kebiasaan yang mereka warisi turun-menurun, makan rasi. Dan, tradisi itu telah dilakoni leluhur kampung itu sejak masa penjajahan Belanda 1918. Hanya saja terjadi perubahan istilah dari semula sanguen menjadi rasi.
Ceritanya, pada 1924 para sesepuh Kampung Cirendeu menilai nama sanguen tidak menasional, maka diubahlah menjadi rasi. Sebetulnya, para leluhur kampung itu tidak menolak beras, namun mereka punya sejarah yang tak menguntung dengan tanaman pagi.
Suatu ketika, di zaman penjajahan Belanda, lahan sawah yang telah ditanami padi tiba-tiba mongering dan puso. Sementara suplai beras dari pemerintah Belanda, waktu itu, sangatlah sulit. Di tengah masa yang teramat sulit itu, kata Haji Ali, seorang tokoh masyarakat Cirendeu, warga kampung mulai mencari jalan keluarnya.
Apa jalan keluarnya? Ya, mengganti sawah menjadi kebun singkong. Dan, sejak itu, masyarakat Cirendeu membiasakan diri mengonsumsi singkong, yang didahului dengan keluarnya wejangan, yang initinya, minta masyarakat menunda mengonsumsi beras, berali ke umbi-umbian. Wejangan itu tetap melekat pada warga masyarakat Cirendeu.(Evi Agustin)
artikel dari : www.tanimerdeka.com
“Wilujeung Sumping di Kampung Cirendeu.“ Plank bertulis latin dalam bahasa Jawa Sunda kuno itu terpampang di mulut jalan masuk kampung Cirendeu, Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat. Sepintas tak ada yang istimewa di balik pemasangan papan petunjuk tersebut, selain hanya ingin memberi tahu para pendatang baru bahwa ia telah berada di wilayah Kampung Cirendeu – dan orang sana biasa menyebutnya RW 09.
Tapi, bagi masyarakat Kampung Cirendeu pemasangan papan selamat datang itu secara tersirat punya maksud ingin memberitahukan pada khalayak bahwa kampung ini memiliki warisan dari karuhun (leluhur), yakni sebagai manusia dan bangsa mempunyai cirri-ciri: rupa, bahasa, aksara, dan adat istiadat atau kebiasaan tersendiri. Bagi penduduk Cirendeu, sekecil apapun warisan karuhun itu harus dilestarikan.
Salah satu warisan itu adalah tetap mempertahankan singkong (Manihot esculenta), bukan beras, sebagai makanan pokok. Memang ada sebagain kecil warga yang mengonsumsi beras, tapi lebih banyak warga yang tetap bertahan makan nasi dari bahan singkong, yang oleh penduduk di sana disebut dengan istilah Rasi atau beras nasi.
Kalau ditilik dari letak gegrafis Kampung Cirendeu tak salah kalau mereka memilih singkong sebagai makanan pokok. Kampung ini dikelilingi oleh pegunungan, yang lahan atau tanah yang tersedia hanya cocok untuk tanaman pangan non-beras atau tanaman sejenis umbi-umbian. Dan, nenek moyang mereka ternyata memilih singkong, dan adat kebiasaan itu pun tetap dilestarikan hingga sekarang.
Kampung Cirendeu menjadi pusat perhatian tatkala harga bahan pokok beras melambung tinggi, dan Departemen Pertanian dan Badan Ketahahan Pangan mulai menggalakkan diversifikasi pangan. Kampung ini menjadi salah contoh bahwa orang bisa bertahan hidup dan sehat tanpa harus mengonsumsi beras. Hanya saja, sayangnya, para petani singkong di kampung Cirendeu belum mendapat perhatian dari pementintah.
Para petani singkong, mulai bercocok tanam hingga memasarkan hasil produknya, masih secara tradisional. Seperti kata Kang Yana, seorang pemuka Masyarakat Adat Kampung Cirendeu, kebanyakan para petani di kampung ini tidak memasarkan singkongnya secara langsung ke pasar. Tapi, mereka lebih dulu mengolah singkong itu menjadi Aci (sagu), dan hasil olahan inilah yang dijual ke pasar.
Singkong bukan tanaman musiman. Karenanya, setiap saat singkong dapat dipanen. Namun demikian, menurut Kang Yana kepada wartawan Tani Merdeka, tetap ada saat-saat panen raya yang melibatkan seluruh masyarakat untuk mulai memetik hasilnya. Dari kampung seluas 100 hektar itu setiap bulan menghasilkan 2 ton singkong. Hasil ini masih bisa ditingkatkan lagi, kalau saja ada intervensi dari tangan-tangan pemerintah.
Umumnya ke-50 kepala keluarga atau sekitar 800 jiwa penduduk Kampung Cirendeu memiliki lahan singkong dengan luas yang bervariasi. Seperti Kanda dan Bana, dua penduduk di sana, masing-masing memiliki lahan seluas 1 hingga 3 hentar. Namun, ada pula yang memiliki lahan kurang dari satu hektar, dan mereka yang tak memiliki lahan bekerja sebagai buruh pabrik dan pedagang.
Agar hasil produk singkong bisa dipanen setiap bulan, mereka mengatur pola tanam singkong sedemikian rupa. Caranya, awal tanam pada masing-masing petak lahan singkong dibuat berbeda, sehingga diperoleh usia singkong yang berbeda pula. Ada tanaman yang berusia muda, 3 hingga 6 bulan, dan ada pula yang usia tua (siap panen), satu tahun. Jadi, karena dibuat beda usia, maka panennya bisa setiap saat.
Setelah dipanen, singkong ini langsung diolah menjadi Aci (sagu) dan hasil olahan ini kemudian dijual ke pasar dengan harga Rp3.000 per kilogram. Ampas singkong -- setelah sagunya diambil – tidak dibuang, tapi itulah yang kemudian dijadikan beras nasi (rasi), yang dikenal pula dengan nema Sanguen. Jadi, “Petani singkong di kampung ini tidak menjual singkong mentah, tetapi menjual Aci,” jelas Kang Yana.
Tetap Bertahan Makan Rasi
Nasi dan rasi memang berbeda tapi fungsinya sama, sebagai makanan pokok. Nasi terbuat dari bahan beras, sedangkan rasi dari bahan singkong. Kalau nasi dikonsumsi oleh sebagian masyarakat Indonesia, sedangkan rasi hanya dikonsumsi oleh segelintir orang di Kampung Cirendeu, Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Ketika pada masa Orde Baru beras menjadi primadona sebagai bahan makanan pokok, banyak warga masyarakat tertentu – seperti di Papua dengan kebiasaan makan umbi-umbian, Gunung Kidul makan tiwul dan lainnya – beralih ke beras. Maka, waktu itu, dikenal istilah orang atau warga tetap dikatakan miskin kalau belum makan beras.
Tapi, warga masyarakat Kampung Cirendeu tak terpengaruh dengan sebutan itu, mereka tetap mempertahankan kebiasaan yang mereka warisi turun-menurun, makan rasi. Dan, tradisi itu telah dilakoni leluhur kampung itu sejak masa penjajahan Belanda 1918. Hanya saja terjadi perubahan istilah dari semula sanguen menjadi rasi.
Ceritanya, pada 1924 para sesepuh Kampung Cirendeu menilai nama sanguen tidak menasional, maka diubahlah menjadi rasi. Sebetulnya, para leluhur kampung itu tidak menolak beras, namun mereka punya sejarah yang tak menguntung dengan tanaman pagi.
Suatu ketika, di zaman penjajahan Belanda, lahan sawah yang telah ditanami padi tiba-tiba mongering dan puso. Sementara suplai beras dari pemerintah Belanda, waktu itu, sangatlah sulit. Di tengah masa yang teramat sulit itu, kata Haji Ali, seorang tokoh masyarakat Cirendeu, warga kampung mulai mencari jalan keluarnya.
Apa jalan keluarnya? Ya, mengganti sawah menjadi kebun singkong. Dan, sejak itu, masyarakat Cirendeu membiasakan diri mengonsumsi singkong, yang didahului dengan keluarnya wejangan, yang initinya, minta masyarakat menunda mengonsumsi beras, berali ke umbi-umbian. Wejangan itu tetap melekat pada warga masyarakat Cirendeu.(Evi Agustin)
artikel dari : www.tanimerdeka.com
0 komentar
Posting Komentar